Makalah Stunting
TUGAS MAKALAH
GIZI KESEHATAN
MASYARAKAT LAHAN KERING
“MASALAH GIZI STUNTING”
OLEH :
Kelompok
7
1.
Melkianus Ndara Bengo
2.
Marsel S. Herin
3.
Bepi Kondora
4.
Anita Bili
5.
Christianus I.A. Dhoy
6.
Stevie B.G.J. Hina
7.
Yusrianto A. Eta
8.
Maria Ina Kii
9.
Yuliana Ina Kii
10. Maria
R.M. Kono
11. Adrianus
Wio
PEMINATAN GIZI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2018
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latarbelakang
Gizi merupakan salah
satu input penting untuk menentukan kualitas SDM. Salah satu indicator yang
menentukan kualitas gizi anak adalah tinggi badan mereka. Lebih dari 36,1
persen anak usia pra sekolah di Indonesia tergolong pendek, sehingga akan
berdampak negatif pada saat mereka memasuki usia sekolah. Prevalensi anak
pendek semakin meningkat dengan bertambahnya umur dan gambaran ini ditemukan
baik jenis kelamin laki-laki maupun perempuan (Khomsan, 2012).
Tinggi badan
merupakan salah satu indicator gizi bangsa. Protein, kalsium, vitamin A, yodium
dan seng mempunyai efek langsung terhadap pertumbuhan tinggi badan. Kalsium
merupakan nutrisi penting untuk mendukung pertumbuhan tinggi badan seorang
anak. Kebutuhan kalsium bisa mencapai 1.000 mg per hari. Jumlah tersebut merupakan
jumlah kebutuhan kalsium tertinggi dalam rentang kehidupan manusia. Pada saat
remaja terjadi pertumbuhan kerangka tulang yang cepat, sebnyak 40-50% dari
total kerangka manusia dibentuk pada periode remaja (Khomsan, 2012).
Pendek
menunjukkan kekurangan gizi kronis yang terjadi dimasa lalu. Parameter yang
digunakan adalah tinggi badan. Seorang anak dikatakan pendek apabila
berdasarkan perhitungan indeks TB/U dia berada pada rentang -2 SD sampai dengan
-3 SD, sedangkan dikatakan sangat pendek apabila perhitungan indeks TB/U
nilainya <-3 SD ( Purnamasari, 2018).
Prevalensi anak
pendek diseluruh dunia menurut WHO pada tahun 2013 sebanyak 161 juta, masih
cukup besar, walaupun sudah mengalami penurunan dibandingkan tahun 2010 169 juta.
Data WHO 2017, terdapat 178 juta balita
mengalami stunting.
Afrika dan Asia menjadi dua benua dengan angka
kejadian balita stunting tertinggi di dunia dengan persentase
masing-masing 40% dan 36%. Indonesia sendiri masuk dalam 10 besar negara dengan
kasus balita stunting tertinggi di Asia bersama dengan negara Asia
lainnya yaitu Bangladesh, Tiongkok, India, Pakistan dan Filipina. Secara nasional, prevalensi pendek pada anak umur 5-12
tahun 30,7% (12,3% sangat pendek dan 18,4% pendek). Prevalensi sangat pendek
terendah di DI Yogyakarta (14,9%) dan tertinggi di Papua (34,5%) (Purnamasari,
2018).
Menurut data
Riskesdas 2013, prevalensi pendek anak balita secara
nasional tahun 2013 adalah 37,2 persen, yang berarti terjadi peningkatan
dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%). Prevalensi pendek sebesar
37,2 persen terdiri dari 18,0 persen sangat pendek dan 19,2 persen pendek. Pada
tahun 2013 prevalensi sangat pendek menunjukkan penurunan, dari 18,8 persen
tahun 2007 dan 18,5 persen tahun 2010. Prevalensi pendek meningkat dari 18,0
persen pada tahun 2007 menjadi 19,2 persen pada tahun 2013.
Terdapat
20 provinsi diatas prevalensi nasional dengan urutan dari prevalensi tertinggi
sampai terendah, yaitu:(1) Nusa Tenggara Timur, (2) Sulawesi Barat, (3) Nusa
Tenggara Barat, (4) Papua Barat, (5) Kalimantan Selatan, (6) Lampung, (7)
Sulawesi Tenggara, (8) Sumatera Utara, (9) Aceh, (10) Kalimantan Tengah, (11)
Maluku Utara, (12) Sulawesi Tengah, (13) Sulawesi Selatan, (14) Maluku, (15)
Papua, (16) Bengkulu, (17) Sumatera Barat, (18) Gorontalo, (19) Kalimantan
Barat dan (20) Jambi.
Masalah
kesehatan masyarakat dianggap berat bila prevalensi pendek sebesar 30 – 39
persen dan serius bila prevalensi pendek ≥40 persen (WHO 2010). Sebanyak 14
provinsi termasuk kategori berat, dan sebanyak 15 provinsi termasuk kategori
serius. Ke 15 provinsi tersebut adalah: (1) Papua, (2) Maluku, (3) Sulawesi
Selatan, (4) Maluku Utara, (5) Sulawesi Tengah, (6) Kalimantan Tengah, (7)
Aceh, (8) Sumatera Utara, (9) Sulawesi Tenggara, (10) Lampung, (11). Kalimantan
Selatan, (12). Papua Barat, (13). Nusa Tenggara Barat, (14). Sulawesi Barat dan
(15) Nusa Tenggara Timur.
Hasil
Penilaian Status Gizi tahun 2017 berdasarkan indeks TB/U secara nasional anak
baduta (0-23 bulan) kategori sangat pendek sebanyak 6,9 % dan pendek 13,2%.
Sedangkan anak balita (24-59 bulan) kategori sangat pendek 9,8% dan status gizi
pendek 19,8%. Persentase Sangat Pendek dan
Pendek Anak
baduta Umur 0-23
Bulan, Menurut Provinsi tahun 2017,
Provinsi Kalimantan Tengah pendek 17,8% dan sangat pendek 12,6%, Kalimantan Barat pendek 17,4% dan sangat
pendek 10,9%, Nusa Tenggara Timur pendek 17% dan sangat pendek 12,8, Sulawesi
Barat pendek 16,8% dan sangat pendek 9,4%.
Status Gizi Balita Umur 24 -59 Bulan Berdasarkan Indeks TB/U,
menurut Provinsi 2017 dengan prevalensi stunting diatas nasional (sangat
pendek 9,8% dan sangat pendek 19,8%) kategori pendek tertinggi NTB (26%),
Sulbar (25,1%), Sulsel (24,6), Kalteng (23,6), Kalbar (23,5) Aceh (23,5%) dan
NTT (22,3%). Status gizi kategori Sangat pendek tertinggi provinsi NTT (18,0%)
dan terendah Kepulauan Riau (4,7%) (Kemenkes, 2018).
B.
Rumusan Masalah.
1.
Apa itu stunting?
2.
Apa penyebab stunting?
3.
Apa dampak stunting?
4.
Bagaimana mencegah stunting?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui apa itu stunting.
2.
Untuk mengetahui penyebab stunting.
3.
Untuk mengetahui dampak stunting.
4.
Untuk mengetahui cara pencegahan stunting.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian
Stunting
Stunting atau pendek merupakan kondisi gagal tumbuh pada bayi (0-11 bulan)
dan anak balita (12-59 bulan) akibat dari kekurangan gizi
kronis terutama dalam 1.000 hari pertama kehidupan sehingga anak terlalu pendek
untuk usianya (Persagi, 2018).
Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam
kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir, tetapi kondisi stunting baru nampak setelah anak
berusia 2 tahun. Balita dikatakan pendek nilai Z-score-nya panjang badan menurut umur
(PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U) kurang dari -2 SD / standar deviasi (stunted) dan kurang dari -3 SD (severely
stunted). Balita stunted akan memiliki kecerdasan tidak
maksimal, menjadi lebih rentan terhadap penyakit, dan dimasa depan dapat
beresiko menurunnya tingkat produktivitas. Pada akhirnya, secara luas, stunting akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kemiskinan (Persagi, 2018).
2.
Penyebab Stunting
Stunting disebabkan oleh
factor multidimensional, diantarannya praktik pengasuhan gizi yang kurang baik, termasuk
kurangnya pengetahuan mengenai kesehatan gizi sebelum dan pada masa kehamilan serta setelah ibu
melahirkan. Intervensi yang paling
menentukan untuk dapat mengurangi pervalensi stunting perlu dilakukan pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) dari anak
balita. Peluang intervensi kunci yang terbukti efektif di antaranya adalah
intervensi yang terkait praktik-praktik pemberian makanan anak dan pemenuhan
gizi ibu (Persagi, 2018).
Beberapa fakta dari informasi yang ada menunjukan bahwa hanya 22,8% dari
anak usia 0-6 bulan yang menyusu eksklusif dan hanya 36,6%
anak usia 7-23 bulan yang menerima makanan pendamping ASI (MPASI) yang sesuai
dengan praktik-praktik yang direkomendasikan tentang pengaturan waktu, frekuensi dan
kualitas (Persagi, 2018).
MPASI diberikan atau mulai diperkenalkan ketika
balita berusia diatas 6 bulan. Selain berfungsi untuk mengenalkan jenis makanan
baru pada bayi, MPASI juga dapat mencukupi kebutuhan gizi bayi yang tidak lagi dapat
disokong oleh ASI serta membantu daya tahan tubuh dan perkembangan system
imunologis anak terhadap makan dan minuman. Oleh karena itu, masyarakat dan petugas
kesehatan perlu memahami pentingnya ASI eksklusif dan praktik-praktik pemberian
makanan bayi dan anak yang tepat serta memberikan dukungan kepada para ibu (Persagi, 2018).
Faktor
penyebab terjadinya stunting beragam yang mencakup kecukupan zat gizi
tidak adekuat dalam jangka waktu panjang dan diperparah dengan terjadinya
penyakit infeksi secara terus menerus. Terganggunya proses pertumbuhan linier
tersebut diakibatkan karena adanya adaptasi tubuh terhadap asupan yang rendah
dan mengakibatkan kecukupan zat gizi yang tidak adekuat, sehingga proses
metabolisme tubuh akan terganggu dan akhirnya proses terbentuknya sel atau
jaringan akan terhambat (Dewi dan Nindia, 2017).
Asupan
makanan yang rendah akan mengakibatkan kelaparan tersembunyi atau masalah gizi
yang tidak kasat mata yang disebabkan karena kurangnya zat gizi mikro, seperti
zat besi dan seng. Seringkali, makanan yang dikonsumsi berupa makanan yang
tinggi akan karbohidrat, namun rendah akan bahan makanan seperti lauk hewani,
sayur, dan buah (Dewi dan Nindia, 2017).
Balita yang lahir dengan berat badan rendah berpeluang untuk menjadi
pendek dibandingkan dengan balita yang lahir dengan berat badan normal. Dampak
dari berat badan lahir rendah akan terus berlanjut dari generasi satu ke
generasi selanjutnya. Anak yang mengalami BBLR memiliki risiko untuk mengalami
ukuran antropometri yang kurang pada saat dewasa. Perempuan yang lahir
dengan berat lahir rendah memiliki risiko untuk tumbuh menjadi ibu yang stunted
sehingga akan cenderung melahirkan bayi yang BBLR dan selanjutnya akan
tumbuh menjadi balita yang stunting
(Hidayat, 2017).
3.
Dampak Buruk Stunting
Dampak buruk
yang dapat ditimbulkan oleh stunting:
1)
Jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh
2)
Jangka panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah
menurunnya kemampuan kognitif
dan
prestasi belajar,
menurunnya
kekebalan tubuh
sehingga mudah sakit,
dan resiko
tinggi untuk
munculnya penyakit
diabetes, kegemukan, penyakit jantung
dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua
Kesemuanya itu akan menurunkan kualitas
sumber daya manusia Indonesia, produktifitas, dan daya saing bangsa (Kementerian
Desa, 2017).
4.
Pencegahan Stunting
Pencegahan stunting dilakukan melalui intervensi gizi spesifik yang ditujukan
dalam 1.000 hari pertama Kehidupan (HPK). Intervensi gizi spesifik untuk
mengatasi permasalahan gizi pada ibu hamil, ibu menyusui 0-6
bulan, ibu menyusui 7-23 bulan, anak usia 0-6 bulan, dan
anak usia 7-23 bulan.
Permasalahan gizi ini bisa diatasi
ketika mereka memahami masalahnya dan mengetahui cara mengatasinya sesuai dengan kondisi masing-masing. Pemberian konseling gizi
kepada individu dan keluarga dapat membantu untuk mengenali masalah kesehatan
terkait gizi, memahami penyebab terjadinya masalah gizi dan membantu serta
individu serta keluarga memecahkan masalahnya sehingga terjadi perubahan
perilaku untuk dapat menerapkan perubahan perilaku makan yang telah disepakati
bersama (Persagi, 2018).
Menurut
Kementerian Desa (2017) Penangan stunting dilakukan melalui
Intervensi Spesifik dan Intervensi Sensitif pada sasaran 1.000 hari pertama kehidupan seorang anak
sampai berusia 6 tahun.
Intervensi Gizi Spesifik
a.
Intervensi yang ditujukan kepada ibu hamil dan anak dalam 1.000 hari
pertama kehidupan
b.
Kegiatan ini umumnya dilakukan oleh sektor kesehatan
c.
Intervensi
spesifik
bersifat jangka pendek,
hasilnya
dapat
dicatat
dalam waktu relatif pendek
Intervensi Gizi
Sensitif
a.
Intervensi yang ditujukan melalui berbagai kegiatan
pembangunan diluar sector kesehatan
b.
Sasarannya adalah seluruh masyarakat umum, tidak
khusus untuk sasaran 1.000 hari pertama kehidupan.
1)
Intervensi Gizi Spesifik
Ini merupakan intervensi yang ditujukan kepada anak dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada 30% penurunan stunting. Kerangka kegiatan intervensi gizi spesifik umumnya dilakukan pada sektor kesehatan.
Intervensi dengan sasaran Ibu Hamil:
a.
Memberikan makanan tambahan pada ibu hamil untuk mengatasi
kekurangan energi dan protein kronis.
b.
Mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat.
c.
Mengatasi kekurangan iodium.
d.
Menanggulangi kecacingan pada ibu hamil.
e.
Melindungi
ibu hamil dari Malaria.
Intervensi dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia
0-6 Bulan:
a.
Mendorong inisiasi menyusui
dini (pemberian ASI jolong/colostrum).
b.
Mendorong pemberian ASI Eksklusif.
Intervensi dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak
Usia 7-23 bulan:
a.
Mendorong penerusan pemberian ASI hingga usia 23 bulan didampingi oleh pemberian MP-ASI.
b.
Menyediakan obat cacing.
c.
Menyediakan suplementasi zink.
d.
Melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan.
e.
Memberikan perlindungan terhadap malaria.
f.
Memberikan imunisasi
lengkap.
g.
Melakukan pencegahan dan pengobatan diare.
2)
Intervensi Gizi Sensitif
Idealnya dilakukan melalui berbagai kegiatan
pembangunan diluar sektor
kesehatan dan berkontribusi pada 70% Intervensi Stunting. Sasaran dari intervensi gizi spesifik adalah masyarakat secara umum dan tidak khusus
ibu hamil dan balita pada 1.000 Hari PertamaKehidupan (HPK).
a.
Menyediakan dan Memastikan Akses pada Air Bersih.
b.
Menyediakan dan Memastikan Akses pada Sanitasi.
c.
Melakukan Fortifikasi Bahan Pangan.
d.
Menyediakan Akses kepada
Layanan Kesehatan dan Keluarga Berencana (KB).
e.
Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
f.
Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal).
g.
Memberikan Pendidikan Pengasuhan pada Orang tua.
h.
Memberikan Pendidikan Anak
Usia Dini Universal.
i.
Memberikan Pendidikan Gizi Masyarakat.
j.
Memberikan Edukasi Kesehatan Seksual dan Reproduksi, serta Gizi
pada
Remaja.
k.
Menyediakan Bantuan dan Jaminan Sosial bagi Keluarga Miskin.
l.
Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Gizi.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
1.
Pengertian
Stunting atau pendek merupakan kondisi
gagal tumbuh pada bayi (0-11 bulan) dan anak balita (12-59 bulan) akibat dari kekurangan gizi kronis terutama dalam 1.000 hari pertama
kehidupan sehingga anak terlalu pendek untuk usianya.
2.
Penyebab: Stunting disebabkan oleh factor multidimensional, diantarannya
praktik pengasuhan gizi yang kurang baik, termasuk kurangnya pengetahuan
mengenai kesehatan gizi sebelum dan pada masa kehamilan serta setelah ibu
melahirkan, bayi lahir BBLR, dan
lain-lain
3.
Dampak Stunting:
Jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh, jangka
panjang adalah obesitas yang akan menyebabkan munculnya berbagai penyakit degeneratif.
4.
Pencegahan stunting
dapat melalui intervensi gizi spesifik dan sensitive.
B.
Saran
1.
Bagi
pemerintah
Perlu
diadakan program promosi kesehatan yang dimulai dari masyarakat bawah dengan
pendekatan keluarga, untuk menanggulangi masalah stunting yang masih sangat tinggi di Indonesia.
2.
Bagi
masyarakat
Perlunya
menerapkan pemberian ASI eksklusif bagi anak-anak dan menjaga sanitasi
lingkungan hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Dewi
& Nindia. 2017. Hubungan Tingkat Kecukupan Zat
Besi Dan Seng Dengan Kejadian Stunting Pada Balita 6-23 Bulan. Jurnal Departemen
Gizi Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat-Universitas Airlangga. Diakses 11 September 2018.
Hidayat,
Muhammad, & Pinatih, Gusti. 2017. Prevalensi stunting pada
balita di wilayah kerja Puskesmas Sidemen Karangasem. E-Jurnal Medika,Vol
6 No 7, Juli 2017.
Ilmu Kedokteran Komunitas dan Pencegahan, Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana. Diakses 11 September 2018.
Khomsan,
Ali. 2012. Ekologi Masalah Gizi, Pangan dan Kemiskinan. Bandung: Alfabeta
Kementerian
Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. Lembaga Penerbitan Badan
Litbangkes.
Kementerian
Kesehatan RI. Buku Saku PSG Nasional Tahun 2018. Jakarta: Direktorat Gizi
Masyarakat
Kementerian
Desa. 2017. Buku Saku Desa dalam Penanganan Stunting. Jakarta: Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
Purnamasari,
Dyah Umiyarni. 2018. Panduan Gizi & Kesehatan Anak Sekolah. Yogyakarta:
Penerbit Andi
Persatuan
Ahli Gizi Indonesia. 2018. Stop Stunting dengan Konseling Gizi. Jakarta:
Penebar Plus
Komentar
Posting Komentar